Rabu, 10 Agustus 2011

Wisata Backpacker ke pulau Tidung di Pulau seribu | Pulau Seribu Jakarta

  


TEMPO Interaktif, Jakarta – Sungguh mengasyikkan pengalaman pertama mengunjungi gugusan Kepulauan Seribu, di tengah cuaca kurang bersahabat, persis pada hari pertama tahun baru lalu.Bersama empat teman, saya menjelajahi sebuah pulau di Kepulauan Seribu, yang sempat dijuluki Maladewa-nya Indonesia. Namanya Pulau Tidung. Ia terdiri atas dua pulau, yaitu Pulau Tidung Kecil dan Pulau Tidung Besar. Sampai saat ini Pulau Tidung Kecil tak berpenghuni. Adapun Pulau Tidung Besar dihuni sekitar 4.000 jiwa penduduk, dan salah satu pulau yang penduduknya terbanyak di antarapulau-pulau di gugusan Kepulauan Seribu.

Pulau Tidung bisa dicapai dengan menumpang “Feri”–julukan warga setempat untuk sebuah kapal kayu berbahan bakar solar yang panjangnya 55 meter dan lebar 3 meter. Jadwal pemberangkatan kapal dengan daya angkut sekitar 100 orang itu pada pukul 07.15 dari dermaga Muara Angke, Jakarta Utara, dengan ongkos Rp 33 ribu per orang. Karena itu, agar tak ketinggalan kapal, saat subuh kami sudah meluncur ke Muara Angke dengan taksi. Cuma, kami sempat muter-muter mencari jalan masuk ke pelabuhan karena tak ada petunjuk yang jelas.

Hari masih begitu pagi, tapi matahari sudah sedikit demi sedikit merangkak naik. Namun kami bersyukur bisa menyaksikan sunrise pertama di tahun baru. Kami melangkahkan kaki menuju kerumunan para penumpang yang akan menuju pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Kulihat mereka berpencar mencari kapal yang akan membawa ke pulau tujuan. Beberapa penumpang menuju kapal yang akan bertolak kePulau Pramuka, Pulau Untung Jawa, dan ada pula yang setujuan dengan kami, Pulau Tidung.

Kapal yang kami cari ternyata nyempil di sebelah kapal yang lumayan besar dengan tujuan Pulau Pramuka. Sesampai di kapal, para penumpang mengambil posisi masing-masing. Kami sengaja mengambil tempat di geladak kapal, tanpa pengaman apa pun, agar leluasa melihat pemandangan. Sang kapten kapal berkali-kali meminta beberapa penumpang supaya berada di dalam dengan alasan keselamatan.

“Kalau cuaca baik, bisa ditempuh dua jam, kok,” kata kapten sebelum kapal berangkat. Beberapa menit kemudian, kapal mulai merangkak perlahan menjauh dari dermaga Muara Angke. Awalnya perjalanan masih menyenangkan. Namun, ketika melewati Pulau Untung Jawa, Onrust, dan Pulau Bidadari, tiba-tiba “drettttttt brettt…“, kapal seolah melompat tinggi. Ternyata ombak sedikit meninggi, suasana pun tidak senyaman tadi.

Setelah kejadian serupa berulang-ulang, tiba-tiba kapal berputar arah melewati Pulau Rambut. Sang awak kapal mengatakan, “Kita harus menghindar dulu karena di ujung sana tidak terlihat matahari. Pulau Tidung ditutupi kabut, mungkin juga badai.” Uhh….

Kapal lain yang menuju Pulau Pramuka, di belakang kami, melakukan hal yang sama. Lebih-kurang 30 menit kapal kami berhenti di atas laut yang tenang di dekat Pulau Rambut. Kapten naik ke geladak. “Kalau ada yang mau ke Untung Jawa, boleh deh saya mampirin,” kata sang kapten, dengan gaya agak kocak. “Tapi saya dibayarin Pop Mie, ya.”

Saya dan teman-teman bersedia jika penumpang lain juga mau mampir. Tapi mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, dengan gurat kekhawatiran di wajah mereka. Merasa tawarannya tidak mendapat respons, sang kapten kembali ke ruangannya dan menjalankan tugasnya kembali.

Demi mengikuti peringatan si kapten, yang berkali-kali memberikan warning, kami meninggalkan geladak untuk bergabung dengan penumpang lain di dalam kapal. Belum sampai 30 menit, lagi-lagi kapal diterjang ombak, dan itu terus terjadi hingga kapal mendarat di dermaga Pulau Tidung empat setengah jam kemudian. Saya pun mabuk–kejadian pertama selama melakukan perjalanan dengan moda transportasi darat, laut, dan udara. Sungguh perjalanan yang rasanya tidak ingin saya ulang lagi.

Sesampainya di dermaga Pulau Tidung, abang-abang tukang becak menawarkan jasa mengantarkan ke penginapan. Tapi kami memilih berjalan kaki menuju Losmen Pak Haji. Seraya melangkahkan kaki, saya memperhatikan sekeliling: rumah-rumah sederhana para penduduk, pohon pisang di kanan-kiri jalan, cemara hijau, jalanan setapak dengan paving block yang nyaman, senyum ramah para penduduk. Sesekali saya harus berhenti dan sedikit menyingkir guna memberikan ruang bagi pengendara sepeda yang tengah menyusuri pulau ini. Kami jadi kepingin juga bersepeda ria berkeliling pulau.

Setelah berjalan sekitar 200 meter, kami tiba di losmen yang kami pesan dari Jakarta. Kami menyewa sebuah rumah dengan satu kamar tidur, dua tempat tidur double bed. Rumah ini memiliki tiga ruangan, dengan fasilitas kulkas, televisi , kamar mandi, serta air minum gratis. Berlima kami dikenai biaya Rp 250 ribu per malam.

Jika tidak ingin menginap di losmen yang lumayan mahal, pengunjung bisa mendapatkan penginapan alternatif, yakni tinggal di rumah-rumah penduduk dengan biaya Rp 75-100 ribu per malam.

Beristirahat sebentar, makanan pun datang, dengan porsi untuk 13 orang, yang terdiri atas cumi balado, ikan goreng, sayuran, dan nasi, yang mesti kami bayar Rp 15 ribu sekali makan. Setelah makan, saya sempatkan tidur untuk melepaskan kepenatan selama perjalanan di atas kapal, sambil menunggu teman-teman salat Jumat.

Beberapa saat kemudian, pesanan datang: alat snorkeling dan sepeda sudah siap di depan losmen. Kegiatan yang harus asyik dilakukan di Pulau Tidung adalah bersepeda, menyusuri pantai dari Tidung Besar ke Tidung Kecil, dan tentunya menikmati pemandangan bawah laut dengan snorkeling dan berenang.

Untuk sewa sepeda, kita cukup mengeluarkan kocek Rp 10 ribu. Adapun biaya perlengkapan snorkelinglengkap Rp 35 ribu. Pengunjung juga bisa menyewa lifevest atau alat snorkeling saja.

Tibalah saatnya untuk mengeksplorasi pulau yang sempat disebut-sebut sebagai Maladewa-nya Indonesia ini. Pulau Tidung memang mirip Maladewa, pulau di Lautan Hindia, 435 mil barat daya Sri Lanka. Sampai kedalaman 50 meter, lautnya masih dangkal. Laut hijau kebiruan, air jernih, beratapkan langit biru cerah.

Kring… kring… kring…. gowes… gowes. Saya sempat menertawakan diri sendiri yang berkali-kali terpeleset akibat lupa cara mengendarai sepeda. Untung akhirnya bisa juga. Saya jadi teringat kenangan masa kecil ketika bersepeda.

Bersepeda di Pulau Tidung, kita harus berhati-hati karena sepeda-sepeda yang ditawarkan tergolong tua. Bahkan ada yang tidak memiliki rem sama sekali. Sadel beberapa sepeda pun sudah tidak nyaman untuk diduduki.

Walau demikian, saya benar-benar menikmati bersepeda keliling pulau melewati rumah-rumah penduduk, sesekali bertukar senyum dengan mereka, menikmati semilir angin dan deru ombak. Dari kejauhan, saya menatap keindahan ciptaan Tuhan: hamparan laut biru kehijauan yang luas, berpadu padan dengan langit biru cerah dan pepohonan rindang di kiri-kanan jalan.

Saya terus mengayuh sepeda menuju sebuah pulau tanpa penghuni nan eksotik, yaitu Pulau Tidung Kecil. Nah, Pulau Tidung Kecil terkenal dengan pasir putihnya. Di sini juga merupakan spot menarik untuk melakukan snorkeling.

Untuk mencapai Tidung Kecil, dari Pulau Tidung Besar, kita harus melewati jembatan yang panjangnya lebih-kurang 2 kilometer. Adakalanya sepeda pun mesti kita jinjing. Bersepeda di atas jembatan yang lebarnya mungkin hanya 1,5 meter ini bisa menjadi sebuah pengalaman tak terlupakan. Ada dua pilihan: tetap mengayuh sepeda dengan perasaan deg-degan karena ada beberapa bagian dari jembatan yang bolong tanpa pengaman atau berjalan berjejer sambil mendorong sepeda. Kalau bersama pasangan, pasti sangat romantis. Sambil berjalan atau mengayuh sepeda, kita tidak akan pernah luput dari pemandangan bawah laut yang terdapat di kanan-kiri jembatan. Laut luas dengan guratan biru transparan, terumbu karang yang indah, sesekali kita bisa melihat ikan-ikan berenang, sungguh terpesona ketika menatap jauh kedalaman laut nan biru.

Sesampai di Pulau Tidung Kecil, kami sempat menikmati pemandangan bawah laut, melakukansnorkeling, dan berenang. Berkali-kali kami mencoba untuk tidak menyentuh terumbu karang nan indah, apa daya terkadang tak mampu menahan gejolak tangan yang gatal.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah menikmati matahari senja di Pulau Tidung. Semua itu kami dapatkan setelah selesai melakukan snorkeling. Cuaca memang agak sedikit tidak bersahabat. Angin bertiup, namun tidak memupuskan sang surya berganti warna menuju kuning keemasan dan perlahan digantikan gelap yang menyelimuti langit Tidung Kecil dan Tidung Besar. Kami pun harus kembali ke penginapan dengan mengayuh sepeda.

Malam semakin larut. Kesunyian menyelimuti Pulau Tidung Besar. Berbaur dengan penduduk, saya sempat mendengar perbincangan mereka yang resah akan hasil tangkapan ikan. Sementara itu, di sudut lain, saya menyaksikan penduduk yang masih terus bekerja membuat sebuah kapal walaupun hari sudah larut. Sebuah gambaran perjuangan hidup di sebuah pulau cantik yang penuh potensi namun belum banyak terekspos.

Keesokan harinya, kami harus kembali ke Jakarta. Kekhawatiran akan cuaca buruk pupus tatkala melihat matahari pagi yang sangat indah di ufuk timur dengan warna merah keemasan yang dipantulkan seolah berkata bahwa esok hari cuaca akan sangat bersahabat.


Pengeeeeeeeeeeeeennnnnnn..........kapan y kesana rame2??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar